Foto
Logo Fakultas Fisip.
JAYAPURA, Wenehanowene.com-
“Pendidikan adalah cara terbaik untuk meraih cita-cita, pendidikan adalah adalah pintu peradaban dari suatu dunia mederen. Pendidikan pulalah, yang akan mengangkat harga dari seorang individu atau sekelompok tertentu. Sehingga menjadi seorang berintelek atau berkualitas pada disiplin ilmu tertentu mempunyai peran penting dalam pembangunan suatu wilayah. Dimana setiap memasuki zaman yang berbeda-beda suatu wilayah membutuhkan revolusi dari pola pikir manusia itu sendiri, dengan kemampuannya pada bidang yang dibutuhkan wilayah tempat tinggal manusia itu berasal. Kemampuan itulah selanjutnya disebut ilmu pengetahuan yang didapat dengan mendapat pendidikan. Entah apapun proses dan metode pendidikannya yang jelas mempengaruhi peradaban”
Demikian adalah pentingnya Pendidikan dalam kehidupan manusia. Sehingga bisa kita sebutkan bahwa Indonesia sendiri adalah Negara merdeka yang menyadari betapa pentingnya meningkatan mutu pendidikan nasional, guna peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap serta bersaing dalam dunia dan era globalisasi seperti sekarang ini. Itu ditunjukan dengan gaya setiap rezim memainkan peran pembangunan di Indonesia. Yang mana pada saat itu Soekarno sebagai Presiden Pertama menjalankan pemerintahan Indonesia saat itu dengan gaya kepemimpinan yang berorentasi pada politik aktif Indonesia dalam dunia internasional. Dengan menjalin kerjasama dibidang politik. Sehingga demikian, hal itu mempengaruhi ekonomi nasional, yang bukannya menjadi baik malah ekonomi Indonesia merosot.
Hal itu memang disadari bahwa disetiap Negara berkembang pembangunan politik akan bertolak belakang dengan pemebangunan ekonomi, misalnya saja ketika ingin meningkatkan pembangunan politik, dimana sebagai wakil rakyat yang mengartikulasikan dan mengagregasikan masayarakat legislative harus menyuarakan kebutuhan masyarakat. Tetapi kini yang memainkan peran baik atau buruknya bangsa Indonesia kini adalah sejarah dari rezim Orde baru yang bersifat sentralistik. Sentralistik yang berlaku diberbagai segi baik ekonomi sosial dan politik Indonesia. Diakui bahwa diawal-awal rezim Soeharto berhasil meningkatkan ekonomi bangsa, tetapi ekonomi bangsa yang berporos di pusat yaitu Jakarta, itu tidak dinikmati rakyat Indonesia selama 32 tahun Soeharto memegang kekuasannya itu.
Sentralistik Soeharto berdampak pula pada pendidikan nasional Indonesia yang berjalan tidak menentu. Pendidikan yang terpusat itu terlihat dari ketidak merataan kualitas pendidikan di Jakarta dengan daerah lain di seluruh nusantara ini. Sederhana dapat kita lihat bahwa berbagai sekolah-sekolah unggulan dari tingkatan SD,SMP, SMA yang diakui memiliki bobot atau daya saing hanya ada di pulau Jawa. Sedangkan daerah lain kian merana dan bingung bagaimana meningkatkan mutu setiap sekolah untuk bisa bersaing dengan mereka dipulau Jawa. Bukan hanya pada tingkatan itu saja tetapi baik Perguruan Tinggi Negri dan Perguruan Tinggi swasta yang terbaik di Indonesia hanya ada di pulau Jawa. Sentralistik itu berdampak pula kualitas setiap masyarakat yang menuntut ilmu di pulau Jawa lebih di unggulkan ketimbang mereka yang memperoleh pendidikan di daerah masing-masing. Karena yang bisa sampai dan bersekolah di Jawa hanya masyarakat yang secara finansial mampu, sedangkan yang terbatas ekonominya terpaksa memperoleh pendidikan di daerah yang levelnya tentu jauh dengan Pulau Jawa.
Penilaian dari daerah bahwa memang di pulau Jawa lebih unggul dari provinsi lain diluar Jawa. Penilaian itu diukur secara kasat mata adalah demikian. Tetapi kenyataan bahwa pendidikan Indonesia sebenarnya tidak diakui kualitas dan daya saingnya secara internasioanal. Demikian adalah beberapa survei yang membenarkan kebenaran itu Yaitu Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Dan Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah.
Demikian adalah kenyataannya bahwa Resim dari presiden pendahulu maupun yang kini belum berhasil mentranformasikan pendidikan menuju kualitas berbobot serta terbaik secara menyeluruh di Indonesia dan dapat diakui secara internasioanl. Karena data-data tersebut diatas adalah beberapa survey lembaga pendidikan international yang dilakukan di pulau Jawa dimana, pulau Jawa dianggap sebagai yang paling unggul di Indonesia ketimbang daerah-daerah lainnya. Hasil Indonesia sendiri dinyatakan sedang tidak berkembang dan berjalan ditempat, khusus dunia pendidikannya. Bagaimana dengan daerah lain di nusantara yang memang tidak mempunyai daya saing dengan pulau Jawa. Logikanya begini, di Jawa saja tidak dapat bersaing dengan beberapa Negara Asia apalagi daerah lain di luar pulau Jawa.
Di era Reformasi dengan undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor : 32 Tahun 2004 tentunya membawah warna tersendiri bagi pemerintahan di seluruh daerah. Pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga daeranya sendiri adalah terobosan baik dalam suatu paradigma pemerintahan untuk memecahkan masalah nasioanal khususnya perasaan diskriminasi daerah terhadap kebijakan sentralistik Orde baru di bidang pendidikan.
Akan tetapi sepuluh tahun terakhir berjalannya reformasi belum kita lihat suatu perubahan yang berarti, khusunya dunia pendidikan di daerah bukan Jawa. Tidak ada perubahan, malah terkesan mandeknya dunia pendidikan di seluruh daerah. Karena rasa terpatronya Pemerintah daerah kepada pemerintah pusat masih kuat. Sehingga otonomi khusus yang seharusnya adalah kesempatan setiap daerah untuk bisa meningkatkan daerahnya diberbagai segi dan bidang, lebih khusus bidang pendidikan tidak bisa diterjemahkan. Akhirnya terkesan bahwa Pemerintah daerah kehabisan ide pembangunan daerahnya. Malah tidak sedikit pejabat daerah yang pergi ke Jakarta dan meminta saran rancangan pembangunan daerah, ironiskan.
Terbukti dengan hingga kini masih ada wacana bahwa untuk mendapat pendidikan terbaik dengan mutu terbaik hanya apabila kita bersekolah di luar dari daerah kita, dalam hal ini bahwa bersekolah di Jawa. Dan sampai detik ini kita masih lihat bahwa hal itu adalah kebenaran dari suatu realita pendidikan di Indonesia. Ataukah ketidak kreatifan Pemerintah daerah karena pejabat daerah adalah pemimpin-pemimpin lama dengan watak Orde baru yang mana masih mempertahankan budaya komando Soeharto dan tidak memberikan kesempatan untuk mengaplikasikan kesempatan sesuai undang-undang No 32 tahun 2004 itu. Dimana setiap daerah berhak melakukan terobosan pembangunan tanpa terpaku kepada pemerintah pusat.
Demikian halnya dengan pendidikan di Papua, dimana daerah termiskin kedua setelah Provinsi Riau ini merupakan daerah padat konflik yang seolah tidak ada penyelesaian tepat. Seperti kita ketahui bahwa jarang ada pemimpin nasional yang adalah orang asli Papua. Itu membuktikan bahwa Papua yang berintegrasi ke Indonesia tahun 1963 itu belum memiliki kualitas serta kemampuan untuk turut memimpin Negara ini. Ditambah lagi dengan terjemahan dari UU No 22 Tahun 1999 dan perubahannya 32 Tahun 2004 yaitu UU No 21 Tahun 2001 belum berimplementasi secara maksimal oleh Pemerintahan di Papua. Keistimewaan Papua melalui UU OTSUS tersebut tidak di manfaatkan dan dimaksimalkan secara baik, khusunya menangani pendidikan Papua yang memang sudah sangat jauh dengan daerah-daerah lain di luar Papua.
FISIP-UNCEN
Berbicara kualiatas pendidikan Papua, dimana terlepas dari peran SD, SMP, SMA diseluruh Papua dan diluar dari Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Swasta lainnya. Peran Universitas Cenderawasih (UNCEN) sebagai Universitas tertua di Papua sangat besar dampaknya bagi pembangunan sumber daya manusia (SDM) Papua. Dimana kita ketahui bahwa walaupun berbagai keterbatasnnya dari awal berdiri (1962) hingga kini UNCEN sudah banyak melahirkan pemimpin-pemimpin Papua yang baik di Negeri Cenderawasih tercinta ini. Akan tetapi hal itu belum cukup membawa UNCEN sampai bisa disejajarkan dengan Perguruan Tinggi lainnya di pulau Jawa karena berdasarkan penilaian Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) UNCEN mendapat poin C, alias akreditasi C, ironiskan. Dan akreditasi setiap program studi di Fakultas seluruh UNCEN didominasi dengan penilaian adalah C.
Hal tersebut adalah sebuah keironisan, karena apabila kita menilai OTSUS Papua dengan nilai uang maka seharusnya berbagai kendala yang menjadi penilaian BAN-PT tersebut bisa di atasi. Seperti halnya fasilitas dan infrastuktur kampus yang layak dan dapat menampung lebih dari 17.000 mahasiswa uncen, Laboratorium dan peralatannya bagai fakultas eksata di lingkungan UNCEN, setiap kampus staf pengajar (Dosen) memadai serta berkualiatas. Bukan hanya pengajar yang bergelar strata (S1) satu saja tetapi bisa mendatangkan pengajar dengan tingkat pendidikan diatas dari itu. Karena OTSUS Papua sebenarnya apabila dinilai diluar dari keistimewaan hak-haknya dan menilai Uang yang triliunan Rupiah yang turun, masakan UNCEN sebagai universitas tertuah serta yang turut mendatangkan OTSUS tersebut tidak mendapat uang kaget dari kebijakan OTSUS tersebut.
Tetapi semua itu tidak pernah ditemukan di UNCEN, setiap fakultas berjalan sesuai karakteristik setiap pemimpinnya masing-masing. Para staf pengajar lebih banyak kesibukan dengan berbisnis ketimbang memikirkan tanggungjawab besar mereka, yaitu mengajar mahasiswa. Hal itu kita kenal dengan sebutan dosen luar biasa dan biasa diluar dan dosen biasa-biasa saja. Karena terlalu biasa-biasa saja sehingga tidak berkualitas sebagai pengajar, bahkan tidak berkompeten dalam mengajar dan hanya di pakai untuk mengisi kekosongan dosen matahkulia bersangkutan. Ujungnya adalah mahasiswa dirugikan dan tentunya berdampak pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua yang berkualitas.
Padahal seperti kita ketahui bahwa mahasiswa adalah tulang punggung dari suatu bangsa, karena pintu terakhir dari kegiatan belajar adalah perguruan tinggi selanjutnya mengabdikan diri sesuai disipilin ilmunya kepada masyarakat di mana ia berada. Selanjutanya apabila tanggungjawab moril UNCEN terhadap Tanah Papua ini hanya sebatas masa bodoh dengan masalah akedemika ini, akankah UNCEN dapat menghasilkan manusia-manusia berkualitas. Hal ini dapat kita sebutkan bahwa selama ini UNCEN telah mewisudakan sarjana-sarjana yang tidak berkuailitas karena menyepelekan masalah-masalah sederhana itu. Pertanyaannya sederhana, kok mewisudahkan sarjana yang selama ini tidak memiliki ruang kuliah, entah karena memang tidak ada ruang kuliah seperti dibeberapa Fakultas atau yang sama sekali tidak kuliah tetapi dapat wisuda dan mendapat gelar sarjananya. Sekali lagi sungguh ironis tetapi itulah yang terjadi di UNCEN PAPUA.
Universitas tertua dan terbesar di Papua ini mempunyai lebih dari 17.000 mahasiswa dan terbagi menjadi mahasiswa regular dan ekstensi dimana diketahui bahwa regular adalah mahasiswa murni alias non pegawai yang lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMA). Akan tetapi, di awal tahun 2000 ke atas UNCEN mulai merekrut mahasiswa lulusan SMA dan menjadi mahasiswa ekstensi. Di ekstensi tentunya memiliki SPP yang berbeda dengan reguler, walaupun hal itu diketahui oleh pihak UNCEN bahwa mahasiswa bersangkutan adalah mahasiswa murni bukan pegawai negeri yang sedang menuntut ilmu tetapi tetap membayar sesuai status kemahasiswaan tersebut. Kesemuanya itu dirancangkan oleh pihak UNCEN dengan memberikan surat pernyataan bagi mahasiswa baru yang ingin menuntut ilmu di UNCEN bahwa ingin kuliah di UNCEN dengan status ekstensi maka tetap membayar SPP dan berbagai administrasinya sesuai dengan status ekstensinya itu. Kebijakan pihak UNCEN tersebut tanpa pernah berpikir apakah mahasiswa tersebut mampu secara ekonomi atau tidak.
Demikian semua hal yang terjadi di UNCEN dan fakultas-fakultasnya, tidak terkecuali FISIP –UNCEN tercinta ini. Padahal diketahui bahwa FISIP adalah Fakultas tertua di UNCEN tetapi dalam hal staf pengajar (dosen) masih terdapat dosen-dosen bergelar Strata Satu (S1), sehingga kompetensi mengajar dan kualitas masih dipertanyakan. Berbagai program studi yang statusnya belum jelas atau belum terakreditasi secara nasional dan hanya berdasar izin Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI), sehingga mahassiswa sering mempertanyakan status kemahasiswaannya dan masa depan dengan ijazah dari progam studi yang belum terakreditasi tersebut. Seharusnya jelas sudah kenapa banyak PRODI yang belum terakreditasi. Bahwa dinamika kampus yang demikian tidak ada etika baik atau serius dari pihak terkait untuk melihat dengan bijak masalah ini.
Ataukah pihak terkait mungkin tidak punya cita-cita besar untuk masa depan generasi Papua? Sederhana saja, kita lihat fasilitas dan infrastruktur kampus saja tidak memadai, di FISIP ini Program Studi Hubungan Internasional (HI) tidak mempunyai ruang kuliah dan hanya meminjam Aula Kampus FISIP. Otomatis tidak efektifnya proses belajar mengajar di Prodi HI sendiri. Pertanyaannya kenapa membuka Program Studi baru sedangkan tidak memiliki fasilitas yang memadai. Yang paling sederhana juga yaitu di FISIP mahasiswa kerepotan saat membutukan WC untuk buang air, WC kotor, airnya tergenang sehingga mengeluarkan bau yang kurang sedap, otomatis juga mengganggu keefektifan dalam proses belajar semua mahasiswa FISIP. Ditambah lagi ruang kuliah masing-masing Prodi juga kurang memadai. Dan yang paling sederhana adalah lampu-lampu di ruang kuliah yang terbatas bahkan ada yang tidak ada sama sekali, dan nantinya bagaimana dengan mahasiswa ekstensi yang kuliah di sore hari.
Terlepas dari berbagai sarana-prasarana mahasiswa FISIP sedang mempertanyakan bagaimana sebuah pelayanan administrasi yang baik, contohnya mempermudah pengurusan KRS, KHS dan Surat Aktif Kuliah. Mahasiswa FISIP juga mempertanyakaan berbagai dana-dana bantuan studi atau Beasiswa untuk mahasiswa. Karena seperti yang diketahui bahwa sampai hari ini masih ditemukan masalah. Yaitu banyak nama yang menerima beasiswa adalah oknum mahasiswa yang sudah wisuda dan yang sudah tidak aktif kuliah, pertanyaannya dimana dana itu, padahal mahasiswa bersangkutan sudah wisuda dan sudah tidak aktif kuliah, serta bagaimana prosedurnya atau syarat bagi mahasiswa untuk bisa dapat mendapat bantuan studi tersebut belum mendapat kejelasan yang baik dari pihak fakultas. atau kurangnya informasi tentang beasiswa ini karena tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi.
Diluar dari itu semua, diketahui bahwa di FISIP ini mempunyai mahasiswa dengan status kemahasiswaan yaitu ekstensi dan regular. Jelaslah keduanya mempunyai status yang berbeda dan juga SPP yang berbeda, ekstensi dua kali lipat dari SPP mahasiswa regular. Kuliahnyapun sore hari, dimana persoalan utama dari mahasiswa ekstensi selain dosen dan berbagai model dan metode yang terkadang tidak kompeten, yaitu keamanan mahasiswa ekstensi di malam hari setelah pulang kuliah. Dan perlu diketahui tidak sedikit kasus krimininal yang terjadi dimana mahasiswa ekstensi menjadi korban. Misalnya, penjambretan, pencurian, penodongan dan lain sebagainya. Kasus kriminal yang terjadi ini tidak pernah dibahas oleh pihak fakultas untuk mencari solusi terbaiknya.
Maka untuk masalah mendasar dilingkungan FISIP UNCEN yang kian menjadi tanpa ada tahapan penyelesaian ini. Kami mahasiswa dalam Hal ini Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip-Uncen merasa perlu membicarakan dalam suatu forum mahassiwa yang kami sebut Mimbar Kampus Mahasiswa Fisip-Uncen untuk memberitahukan kebutuhan mahasiswa kepada pihak terkait di Fakultas. Mimbar kampus adalah wadah bagi mahasiswa Fisip untuk mengutarakan kemaun mahasiswa tentang kebutuhannya di kampus ini. Sifat Mimbar kampus adalah penyaluran aspirasi secara demokrasi bertanggungjawab dan bermartabat.
Tertanda Mahasiswa FISIP-UNCEN
Oleh : Gurik Benyamin